Beranda | Artikel
Manusia dan Cinta
Jumat, 13 Februari 2015

kebun-bunga-matahari-hokkaido-9

Tidak diingkari bahwa cinta adalah faktor yang menggerakkan aktifitas manusia. Cinta kepada kehidupan dan kesehatan membuat manusia berusaha untuk selamat dari penyakit dan kematian. Cinta kepada harta membuat manusia berusaha untuk menyimpan harta di tempat yang aman, menyewa penjaga, dan membuat sistem pengamanan yang ketat.

Dalam Islam, cinta merupakan pilar ibadah. Karena penghambaan kepada Allah dilandasi dengan tiga amalan hati; cinta, takut, dan harap. Kecintaan yang dimaksud di sini adalah kecintaan yang disertai dengan perendahan diri dan pengagungan. Kecintaan yang hanya layak ditujukan kepada Allah, tidak kepada selain-Nya. Kecintaan kepada Allah adalah poros ketaatan dan pengendali atas segala bentuk amalan. Bahkan, cinta itulah ruh dari ibadah. Oleh sebab itu para ulama mendefinisikan ibadah sebagai ‘puncak perendahan diri yang disertai dengan peuncak kecintaan’.

Sebagaimana halnya tauhid tegak di atas kecintaan, maka demikian pula syirik berdiri di atas kecintaan; yaitu kecintaan kepada sesembahan selain Allah. Kecintaan inilah yang membuat mereka hanyut dan tenggelam dalam kekafiran dan azab neraka. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan diantara manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu-sekutu, mereka mencintainya sebagaimana halnya cinta kepada Allah. Adapun orang-orang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.” (Al-Baqarah : 165)

Kaum muslimin ahli tauhid adalah orang-orang yang mencintai Allah. Karena Allah lah sang pemberi nikmat dan pemelihara alam. Allah satu-satunya pencipta dan penguasa. Allah yang memberikan rizki, yang menghidupkan dan mematikan. Maka pantaslah jika Allah dicintai oleh hati setiap insan. Sebagaimana dikatakan dalam sebagian riwayat, “Hati-hati manusia telah tercipta dalam keadaan mencintai siapa pun yang berbuat baik kepadanya.” Sementara tiada yang lebih besar jasa dan kebaikannya kepada kita selain Allah jalla wa ‘ala.

Salah satu sebab seorang bisa merasakan manisnya iman adalah, “Apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kecintaan iman dan tauhid, mencintai Allah sebagai satu-satunya sesembahan yang haq dan mencintai Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu-satunya panutan dan teladan dalam beribadah. Cinta kepada Rasul -dalam makna yang benar- merupakan bagian dari kecintaan kepada Allah. Akan tetapi cinta kepada Rasul -dalam makna yang keliru yaitu menjadikan beliau sebagai sesembahan dan tempat bergantungnya hati- adalah bagian dari jerat-jerat setan dan virus kekafiran.

Kaum musyrikin pemuja Lata, ‘Uzza, dan Manat adalah orang-orang yang juga mencintai Allah. Akan tetapi mereka telah mengangkat sekutu bagi Allah dalam beribadah. Mereka mencintai sesembahan-sesembahannya itu sebagaimana cinta mereka kepada Allah. Inilah yang membuat mereka tenggelam dalam kekafiran. Demikian pula para pemuja harta disebut oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba Dinar dan hamba Dirham; mereka hanyut dalam dosa besar akibat mencintai harta secara berlebihan, tidak lagi peduli halal dan haram. Mereka rela menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia yang fana.

Kecintaan kaum beriman kepada Allah merupakan kecintaan yang murni. Karena cinta mereka tidak terbagi. Adapun kecintaan kaum musyrikin adalah kecintaan yang bercabang-cabang; hati mereka terbelah dan tercerai-berai tak tentu arah karena menuruti kemauan sesembahan mereka yang beraneka macam itu. Sungguh malang, orang yang hatinya bersandar kepada selain Allah.

Apabila ibadah kepada Allah itu tegak di atas kecintaan, maka setiap amal yang kita lakukan semestinya digerakkan dan ditegakkan di atas kecintaan iman ini. Kecintaan yang akan membuat amal-amal menjadi ikhlas kepada Allah. Kecintaan yang akan membuat kita tunduk kepada hukum-hukum Allah. Kecintaan yang akan membuat kita lebih mendahulukan perintah Allah daripada memperturutkan hawa nafsu. Kecintaan yang membuat kita bersabar di atas jalan yang lurus. Kecintaan yang membuat kita selalu bersyukur atas nikmat Allah. Kecintaan yang membuat kita senantiasa bertaubat atas segala dosa dan maksiat yang kita perbuat. Kecintaan yang membuat kita tabah tatkala musibah dan bencana menerpa.

Kecintaan kepada Allah inilah yang membuat generasi pertama umat ini mencapai kemuliaan. Sehingga muncullah para pejuang dan pembela Islam seperti Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali radhiyallahu’anhum. Kecintaan yang bersemayam di dalam hati mereka telah melupakan mereka dari perihnya luka dan beratnya perjuangan di jalan Islam. Apa pun siap mereka korbankan demi cinta mereka kepada Allah dan Rasul-Nya.

Harta, waktu, tenaga, bahkan nyawa sekalipun rela untuk mereka berikan demi tegaknya Islam dan Tauhid di muka bumi ini. Suatu ketika dikatakan kepada Khubaib bin ‘Adi radhiyallahu’anhu ketika pedang kaum kafir sudah berada di atas lehernya, “Wahai Khubaib, apakah kamu ridha apabila Muhammad menggantikan posisimu pada saat ini?”. Maka sahabat yang mulia ini menjawab, “Tidak, demi Allah! Walaupun sekedar tertusuk duri, maka aku tidak rela Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengalaminya.” Allahu akbar! Inilah cinta…!

Sebagaimana pula dikatakan oleh sebagai ulama, “Tidaklah Abu Bakar melampaui para sahabat yang lain karena banyaknya sholat dan puasa, akan tetapi karena sesuatu yang bersemayam di dalam dadanya.” Ketika ditanyakan kepadanya, “Apa itu yang bersemayam di dalam dadanya?”. Ulama itu menjawab, “Cinta kepada Allah dan ketulusan/nasihat kepada sesama.” Inilah letak kebahagiaan dan pondasi kejayaan yang mengantarkan para sahabat menuju kemuliaan.

Malik bin Dinar rahimahullah berkata, “Para pemuja dunia telah keluar dari dunia dalam keadaan belum merasakan sesuatu yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Apakah hal itu wahai Abu Yahya?”. Beliau menjawab, “Mengenal Allah, mencintai-Nya dan ketenangan bersama-Nya.” Inilah kelezatan dan kebahagiaan tiada tara yang hanya bisa dirasakan oleh kaum beriman dan manusia yang bertauhid kepada Allah. Orang yang mengenal Allah pasti akan jatuh cinta kepada-Nya, melebihi kecintaannya kepada segala sesuatu di alam dunia. Oleh sebab itu orang-orang beriman akan merasa tenang hatinya dengan taat dan berzikir kepada Rabbnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Perumpamaan orang yang mengingat Rabbnya dengan orang yang tidak mengingat Rabbnya seperti perumpamaan orang yang hidup dengan orang yang mati.” (HR. Bukhari). Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Dzikir bagi hati laksana air bagi ikan. Lantas apakah yang terjadi pada si ikan apabila ia terpisah dari air?”

Orang yang hidup hatinya akan merasakan kegembiraan dengan amal-amal salih. Orang yang hidup hatinya akan merasakan kenikmatan dengan memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya. Orang yang hidup hatinya akan merasakan kebahagiaan dengan jalan taubat dan istighfar kepada-Nya. Adapun orang yang mati hatinya tidak peduli dengan seribu ayat yang disampaikan kepada-Nya. Orang yang mati hatinya beramal hanya demi mencari pujian dan sanjungan manusia, tidak mau berzikir kepada Allah kecuali sedikit sekali, dan malas menunaikan ibadah. Orang yang telah mati hatinya hidup seperti binatang, makan dan bersenang-senang layaknya binatang, dan neraka itulah tempat kembali untuk mereka kelak di akhirat. Wal ‘iyadzu billah.

Cinta kepada Allah adalah ruh agama Islam. Kita mencintai apa-apa yang Allah cintai, dan kita pun membenci apa-apa yang Allah benci. Apabila Allah mencintai tauhid, iman, dan ketaatan, maka kita pun mencintai hal itu. Sebagaimana Allah membenci syirik, kekafiran, dan maksiat, maka kita pun harus membenci perkara-perkara itu. Inilah kecintaan yang hakiki.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/manusia-dan-cinta/